Sabtu, 20 November 2010

Bahaya Silikosis Abu Vulkanik

Dalam setiap semburan gunung merapi mengandung senyawa kimia yang mengancam kesehatan manusia. Senyawa tersebut di antaranya adalah Silika dioksida (SiO2) 54,56%, aluminium oksida (Al2O3) 18,37%, ferri oksida (Fe2O3) 18,59%, dan kalsium oksida (CaO) 8,33%.
Silika adalah yang paling dominan dan paling berbahaya. Silika memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang bagi kesehatan manusia. Efek jangka pendek mulai dari iritasi kulit, iritasi mata hingga sesak napas. Hal ini karena silika memiliki struktur kristal yang secara mikroskopis terlihat tajam-tajam. Inilah mengapa jika terkena ke jaringan yang sangat sensitif seperti mata, kemudian tanpa sengaja orang mengogosok-gosok, iritasi mata akan langsung terjadi.

 Salah satu penyakit yang ditimbulkan adalah yang dikenal sebagai silikosis. Silikosis dapat terjadi karena paparan kristal atau silikat bebas yang terhirup melalui pernapasan. Secara klasik, penyakit ini baru bisa manifestasi setelah 10-20 tahun setelah paparan yang terus-menerus. Namun, waktu tersebut dapat menjadi singkat, 5-10 tahun atau bahkan dalam satu tahun jika berhubungan dengan paparan abu yang mengandung kristal maupun silikat bebas dalam jumlah yang sangat banyak.
Jika abu ini terhirup oleh manusia, jumlah penyakit ini akan meningkat paling tidak dalam waktu kurang dari lima tahun ke depan. Gejala spesifik dari silikosis adalah batuk berdahak dan sesak napas. Seiring dengan perkembangan penyakit, muncul juga gejala-gejala nyeri dada, lemas, kehilangan nafsu makan hingga sesak napas ekstrem. Sangat jarang penyakit ini akan ditemukan dalam kondisi akut. Sebagian besar penyakit ini akan terdiagnosis setelah kondisi kronis. Penyakit ini berhubungan dengan peningkatan risiko kanker paru, penyakit paru obstruktif kronis, dan penyakit yang menyerang jaringan penunjang dalam tubuh.
Partikel Silikat berukuran sangat kecil, kurang dari satu mikron setelah terhirup melalui pernapasan akan mengendap di ujung akhir saluran pernapasan bronkiolus, saluran alveolus, dan alveoli paru-paru (lihat gambar). Permukaan partikel silikat tersebut akan menyebabkan produksi hidrogen, hidrogen peroksida, dan radikal bebas senyawa oksigen lainnya. Semua radikal bebas ini akan merusak lapisan lemak dinding sel tubuh yang sehat dan mematikan protein-protein penting untuk metabolisme sel normal.
Sistem pertahanan tubuh kita tentunya akan berespons terhadap kehadiran partikel asing tersebut. Tubuh akan mengeluarkan makrofag (sel antibodi tubuh) dari paru-paru yang selanjutnya diikuti pelepasan senyawa antibodi interleukin (IL-1 dan B-4). Pelepasan senyawa ini akan membuat tubuh merespons dengan peningkatan suhu tubuh sehingga gejala yang dirasakan adalah demam. Faktor-faktor pertahanan tubuh seperti faktor pertumbuhan alfa akan menginduksi pembelahan sel tipe 2 pada paru-paru sehingga terjadi pembelahan sel fibroblas dan memproduksi kolagen. Kolagen ini akan tertimbun dalam jaringan paru sehingga terjadi fibrosis paru. Fibrosis adalah kelainan di mana paru-paru menjadi mengeras dan membentuk gambaran seperti skar luka.
Kelainan inilah yang akan membantu penegakan diagnosis karena akan terlihat jelas sebagai gambaran putih, bulat beraturan dengan ukuran tertentu pada foto rontgen paru. Selama perkembangan penyakit ini, aliran udara di alveolus paru-paru akan terbatas. Pergantian oksigen dan karbondioksida di paru menjadi tidak efektif, akibatnya akan ditemukan gejala sesak diikuti batuk-batuk.
Terdapat laporan penelitian yang menyatakan bahwa kejadian infeksi TBC meningkat pada penderita silikosis. Selain gejala di atas, akibat penumpukan silikat dalam tubuh ini dan berkaitan dengan sistem imun tubuh, akan muncul juga penyakit rematik (Rheumatoid arthritis). Gangguan ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki. Belum diketahui secara pasti mengapa jumlahnya lebih banyak pada laki-laki.
Penyakit silikosis ini tentunya lebih berbahaya pada bayi, balita, dan anak-anak. Salah satunya karena fungsi dan kerja organ-organ sistem pernapasan belum berkembang sempurna seperti orang dewasa. Sel-sel rambut dan
rambut-rambut di dalam lubang hidung kita memainkan peranan sebagai pertahanan mekanik lini pertama terhadap partikel-partikel yang dihirup. Namun, pada orang dewasa saja partikel silika yang jauh lebih kecil mampu lolos sampai ke paru-paru apalagi pada bayi dan anak-anak. Hal ini harus mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama tenaga kesehatan. Sehingga, jangan sampai bayi dan anak-anak, pengungsi korban Merapi bertumbuh dengan membawa penumpukan silika dalam jaringan paru-paru mereka.
Jika penanganan tidak dilakukan secara adekuat saat ini, dalam waktu paling tidak 5-10 tahun mendatang kita dapat melihat gambaran paru-paru yang rusak akibat penumpukan silika, di samping ancaman kematian tentunya.
Langkah penanganan dapat dilakukan dengan cara pencegahan terhadap paparan abu silika. Penggunaan masker adalah tindakan preventif yang cukup baik. Selain itu, dukungan gizi dari makanan juga perlu diperhatikan. Hal ini karena berkaitan dengan imun tubuh yang harus tetap terjaga sebagai pertahanan kalau-kalau telah ada partikel silika yang kebetulan telah lolos terhirup. Secara medis, belum ada obat-obatan pencegah yang efektif. Kalaupun ada, hanya bersifat meningkatkan pertahanan imun tubuh melalui pemberian multivitamin.
Dengan demikian, seluruh proses penanganan pengungsi khususnya korban Merapi memerlukan perhatian serius dan khusus. Penanganan bidang kesehatan harus dilakukan secara terintegrasi dan komprehensif dengan memperhatikan status gizi, obat-obatan, air bersih, dan tempat perlindungan yang adekuat. Dengan demikian, dalam waktu paling tidak lima tahun mendatang tidak akan ada "anak-anak Merapi" yang banyak didiagnosis menderita silikosis.

Anie (08303244003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar