Kamis, 18 November 2010

Sumur Tercemar Abu Vulkanik Harus Dikuras

Debu vulkanik gunung berapi bersifat mudah mengendap dalam air. Karena itu, air sumur yang terkena debu vulkanik akan tetap terlihat jernih. Namun, untuk mencegah risiko dari zat-zat mikro berbahaya, sumur sebaiknya dikuras terlebih dahulu sebelum digunakan.
Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Junun Sartohadi, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (8/11/2010). Tindakan preventif pengurasan sumur ini untuk menghilangkan kandungan logam berat yang menempel pada debu vulkanik dan mengendap di dasar sumur.

 Logam berat merupakan unsur mikro yang ada di semua jenis batuan. Jenis logam berat pada debu vulkanik, antara lain, kadmium (Cd) dan tembaga (Cu). Meski jumlahnya amat sedikit, tubuh tak boleh sama sekali terpapar logam berat. ”Dengan dikuras, air sumur tetap akan sama jernihnya, tetapi terbebas dari logam berat yang berbahaya bagi kesehatan,” katanya.
Menurut Junun, pengurasan merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan logam berat dari dalam sumur. Penggunaan zat penetral dan penggumpal atau koagulan tidak akan menghilangkan logam berat.
Logam berat merupakan unsur yang tidak mudah dinetralkan, sedangkan koagulan hanya berfungsi untuk menjernihkan air. Padahal, air yang terkena debu vulkanik tetap jernih. Pengurasan serupa perlu dilakukan di tandon-tandon mata air sehingga air yang digunakan masyarakat sehat kembali.
Pemindahan debu
Junun meminta pemerintah segera memikirkan langkah pembersihan debu dari tempat tinggal masyarakat. Setelah masyarakat membersihkan rumah dan lingkungannya dari debu, debu itu harus segera dipindahkan ke tempat lain, jangan dibiarkan teronggok di permukiman warga.
Tumpukan abu vulkanik itu akan tetap memengaruhi kesehatan warga karena akan mudah terbang ditiup angin. Pemindahan debu bisa diarahkan ke daerah-daerah yang tandus dan daerah dengan lapisan tanah tipis.
”Partikel debu vulkanik sangat mudah lapuk sehingga sangat bagus digunakan sebagai bahan material tanah. Tempat tandus akan jadi subur,” katanya.
Ahli mineralogi liat dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor, Iskandar, mengakui, debu vulkanik kaya akan unsur hara penyubur tanah. Namun, proses penyuburannya perlu waktu sekitar 10 tahun.
Upaya percepatan dapat dilakukan dengan menambah kompos, urea, dan ekstrak senyawa humat—senyawa hasil ekstraksi bahan organik pada humus. Dalam uji laboratorium, penambahan senyawa akan mempercepat pelapukan hingga cukup lima tahun saja.
Iskandar menambahkan, debu yang sudah dingin dapat langsung dimanfaatkan sebagai media tanam, tetapi tidak sesubur 10 tahun kemudian. Sifatnya sama dengan pasir umumnya.
Bagi daerah yang mengalami hujan abu tipis, debu yang ada harus segera dimanfaatkan. Bagian luar debu yang masih baru banyak mengandung unsur hara. Jika dibiarkan, unsur hara akan larut terbawa hujan. ”Setelahnya, maka kemanfaatan pasir vulkanik harus menunggu hingga keluarnya unsur hara dalam partikel pasir saat pasir lapuk,” ujarnya.
Ikan mati
Sementara itu, matinya ikan-ikan di kolam warga akibat hujan debu vulkanik dinilai ahli hama dan penyakit ikan dari Jurusan Perikanan UGM, Kamiso Handoyo Nitimulyo, diakibatkan oleh perubahan kepekatan dan suhu air kolam.
Air kolam yang terlalu keruh membuat insang tak bisa bekerja baik dan rusak sehingga tak bisa mengambil oksigen. Air yang penuh debu juga akan mengurangi kandungan oksigen dalam air kolam.
Di daerah yang dekat dengan puncak semburan debu, debunya akan sangat panas. Jika masuk ke air, akan mengubah suhu air kolam secara tiba-tiba sehingga ikan-ikan di dalamnya mati. ”Lele dan gurami adalah jenis ikan yang lebih kuat tinggal dalam lingkungan keruh,” katanya.
Untuk menghindari matinya ikan dalam jumlah besar, menurut Kamiso, daerah-daerah yang terkena debu tipis perlu segera mengganti air kolamnya.
Anie (08303244003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar